China telah lama memegang posisi dominan dalam industri tekstil global, dan mendapatkan tempatnya sebagai "pabrik dunia". Namun, perkembangan terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam lanskap, dengan pergeseran produksi ke Asia Tenggara dan munculnya tantangan-tantangan baru. Artikel ini mengeksplorasi faktor-faktor di balik kebangkitan historis tekstil Tiongkok, transfer industri yang sedang berlangsung, dan masa depan sektor tekstil Tiongkok dalam ekonomi global yang berkembang pesat.
Ledakan tekstil di Tiongkok pada akhir abad ke-20 didorong oleh jumlah tenaga kerja yang besar dan terjangkau. Selama periode ini, migrasi dari desa ke kota melonjak karena jutaan pekerja pindah ke sektor industri, sehingga industri tekstil mendapatkan tenaga kerja yang cukup dan murah.
Investasi besar-besaran pemerintah Tiongkok di bidang infrastruktur memainkan peran penting dalam kebangkitan industri ini.
Kemajuan ini memposisikan Tiongkok sebagai pusat manufaktur tekstil yang efisien dan hemat biaya.
Kemampuan China untuk memproduksi tekstil dalam skala besar memungkinkan produsen untuk mencapai skala ekonomis, mengurangi biaya.
Kebijakan pemerintah yang mendukung sangat penting bagi perkembangan industri ini.
Aksesi Tiongkok ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001 merupakan titik balik, yang memungkinkan para produsennya untuk mengakses pasar global dengan lebih sedikit hambatan perdagangan.
Rantai pasokan China yang terintegrasi secara vertikal, dari produksi serat hingga barang jadi, memastikan efisiensi dan pengendalian biaya. Negara ini juga menawarkan rangkaian produk yang beragam, mulai dari garmen dasar hingga kain performa berteknologi tinggi, yang memenuhi beragam permintaan global.
Seiring dengan semakin matangnya ekonomi Tiongkok, upah meningkat, mengurangi keunggulan biaya yang pada awalnya menarik bagi merek-merek global. Misalnya, pada tahun 2023, pekerja pabrik di Tiongkok memperoleh penghasilan antara $982 hingga $1.685 per bulan, jauh lebih tinggi daripada pekerja di Vietnam atau Bangladesh.
Negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh kini menawarkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah, perjanjian perdagangan yang menguntungkan, dan basis industri yang berkembang, menjadikannya alternatif yang menarik untuk manufaktur tekstil.
Tarif, seperti yang diberlakukan selama perang dagang AS-Tiongkok, telah mendorong merek-merek untuk mendiversifikasi rantai pasokan mereka. Negara-negara Asia Tenggara, dengan perjanjian perdagangan bebas dan perlakuan istimewa, telah menjadi penerima manfaat utama.
Peraturan lingkungan yang ketat di Tiongkok, ditambah dengan biaya kepatuhan yang tinggi, telah membuat beberapa perusahaan pindah ke negara dengan standar yang lebih lunak.
Untuk mengatasi kenaikan biaya tenaga kerja, China berinvestasi besar-besaran dalam otomatisasi dan manufaktur pintar. Teknologi canggih seperti robotika dan AI diperkirakan akan mengotomatisasi hampir 50% aktivitas manufaktur tekstil pada tahun 2024.
Dengan meningkatnya permintaan konsumen akan produk ramah lingkungan, Tiongkok mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan seperti:
Peraturan pemerintah juga memberlakukan standar lingkungan yang lebih ketat, yang dapat memposisikan China sebagai pemimpin dalam produksi tekstil yang berkelanjutan.
Seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekspor, China berfokus pada pasar domestiknya. Pada tahun 2025, penjualan ritel pakaian di Tiongkok diproyeksikan akan melebihi $415 miliar, didorong oleh meningkatnya belanja konsumen.
China mengalihkan fokusnya ke produk-produk bernilai tinggi, seperti tekstil teknis untuk aplikasi medis, otomotif, dan olahraga. Pergeseran ke arah inovasi ini bertujuan untuk menangkap segmen pasar yang lebih menguntungkan.
Melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative, Tiongkok berinvestasi di pabrik-pabrik tekstil di luar negeri, memastikannya tetap menjadi bagian integral dari rantai pasokan global meskipun terjadi perpindahan industri.
Meskipun transfer industri dan kenaikan biaya menghadirkan tantangan, China tidak kehilangan relevansinya dalam industri tekstil global. Sebaliknya, sektor ini justru berkembang. Dengan merangkul kemajuan teknologi, keberlanjutan, dan produksi bernilai tinggi, China siap untuk tetap menjadi pemain yang signifikan, meskipun dalam kapasitas yang berbeda.
Masa depan tekstil China kemungkinan akan menekankan kualitas daripada kuantitas, dengan fokus pada keberlanjutan, inovasi, dan pertumbuhan domestik. Ketika industri ini beradaptasi dengan realitas baru, transformasinya dapat mengatur panggung untuk sektor tekstil yang lebih tangguh dan kompetitif dalam beberapa dekade mendatang.